Thursday, November 21, 2013

SEJARAH INDONESIA KUNO

Sejarah kuno adalah studi mengenai masa lalu tertulis dari awal mula sejarah manusia tertulis sampai Abad Pertengahan Awal. Jangka waktunya sekitar lima ribu tahun, dengan aksara kuneiform, bentuk tulisan koheren tertua yang pernah ditemukan, dari periode protoliterat sekitar abad ke-30 SM. Ini adalah awal dari "sejarah," sebagai kebalikan dari prasejarah, berdasarkan pengertian yang digunakan oleh sebagian besar sejarawan.
Istilah antikuitas klasik sering digunakan untuk merujuk kepada sejarah kuno di Dunia Lama sejak permulaan sejarah Yunani tertulis pada tahun 776 SM (Olimpiade kuno pertama). Ini kurang lebih bertepatan dengan penanggalan tradisional pendirian kota Roma pada tahun 753 SM, yang merupakan awal mula sejarah Romawi kuno, dan sekaligus merupakan permulaan periode Arkaik di Yunani kuno. Meskipun waktu akhir untuk sejarah kuno diperdebatkan, beberapa sejarawan barat berpendapat bahwa Keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, penutupan Akademi Plato pada tahun 529 M, kematian kaisar Yustinianus I, kedatangan Islam, ataupun kenaikan Charlemagne sebagai peristiwa yang menandai akhir sejarah Eropa Klasik dan kuno.
Di India, periode ini meliputi periode Kerajaan-kerajaan Pertengahan, dan di Cina, masa sampai Dinasti Qin juga termasuk. 
Prasejarah adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan periode sebelum sejarah tertulis. Pola Migrasi manusia awal pada Paleolitikum Rendah menunjukkan penyebaran Homo Erectus di seluruh Eurasia. Kemampuan mengendalikan api dimulai sekitar delapan ratus ribu tahun yang lalu pada Paleolitikum Pertengahan. Sekitar 250 ribu tahun yang lalu, Homo Sapiens berevolusi di Afrika. Sekitar 70–60 ribu tahun yang lalu, manusia modern bermigrasi ke luar dari Afrika di sepanjang pesisir ke Asia Selatan dan Asia Tenggara dan mencapai Australia. Sekitar 50 ribu tahun yang lalu, manusia modern menyebar dari Asia ke Timur DekatEropa dicapai oleh manusia modern sekitar 40 ribu tahun yang lalu. Akhirnya, sekitar 15 ribu tahun yang lalu pada Paleolitikum Atasmigrasi ke Amerika berlangusng.
Milenium ke-10 SM adalah waktu terawal yang diketahui untuk penemuan pertanian dan permulaan zaman kuno. Göbekli Tepe didirikan oleh para pengumpul-pemburu pada milenium ke-10 SM (sek. 11.500 tahun yang lalu). Bersama dengan Nevalı Çori, ini merevolusi pemahaman mengenai Neolitikum Eurasia. Pada milenium ke-7 SM, kebudayaan Jiahu muncul di Cina. Pada milenium ke-5 SM, peradaban Neolitikum akhir ditandai dengan penemuan roda dan penyebaran tulisan proto. Pada milenium ke-4 SM, kebudayaan Cucuteni-Trypillia berkembang di daerah Ukraina-Moldova-Romania. Pada tahun 3400-an SM, kuneiform "protoliterat" menyebar di Timur Tengah. Pada abad ke-30 SM, yang disebut sebagai Zaman Perunggu Awal II, terjadi permulaan periode literat di Mesopotamia dan Mesir kuno. Sekitar abad ke-27 SM, Kerajaan Lama Mesir dan Dinasti Pertama Uruk didirikan, berdasarkan masa pemerintahan yang terawal yang dapat dipercaya.

Tuesday, November 19, 2013

Sejarah Kota Medan

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli,Sei BaburaSei SikambingSei DenaiSei PutihSei BadraSei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. DAN SEI DELI. 

SEJARAH AWAL KOTA MEDAN         

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini. 
          Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia. “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepadaJacob Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dariBengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mackay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara. 
Masa Penjajahan Jepang
          Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat di sekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebutgemeentebestuur oleh Jepang dirobah menjadi Medan Sico (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.
Masa Kemerdekaan
Dimana-mana di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Ia juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun di antaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
Kota kembar
Beberapa kota di Asia telah mendorong pembentukan Persatuan Kota Kembar, antaraMedan dengan:

Perkebunan Tembakau

NegaraKotaNegara Bagian / Daerah
Bendera Malaysia MalaysiaGeorgetownPulau Pinang
Bendera Jepang JepangIchikawaPrefektur Chiba
Bendera Korea Selatan Korea SelatanGwangjuSouth Jeolla
Bendera Republik Rakyat Cina Republik Rakyat ChinaChengduSichuan
Bendera Australia AustraliaMelbourneVictoria
Bendera Amerika Serikat Amerika SerikatChicagoIllinois
Bendera India IndiaChennaiTamil Nadu

Forum ini telah menjadi ajang saling tukar-menukar informasi dan perundingan untuk membincangkan berbagai masalah ekonomi dan perkotaan.Berbagai kerangka kerjasama antara kota bersaudara, kenyataannya terus berkembang dalam bidang-bidang yang semakin luas, baik sosial maupun pendidikan. Di bidang sosial, misalnya Ichikawa memanfaatkan forum ini untuk membantu pengadaan alat bantu pendengaran untuk melengkapi kemudahan kesehatan kota Medan. Di bidang pengembangan sumber daya manusia, Ichikawa juga memberikan bantuan latihan bagi Pemerintah Kota Medan dalam bentuk magang, termasuk mengadakan program pertukaran pelajar di antara kedua kota.Hal yang sama juga berlangsung antara Medan dengan kota kembar lainnya, baik Kwangju maupun Pulau Pinang. Di bidang perdagangan, forum ini telah menguruskan Pameran Perdagangan Kota Kembar (Sister City Trade Fair) yang bertaraf internasional, sehingga mampu mendorong pertemuan pengusaha-pengusaha kota masing-masing. Dengan nyata, hal ini mampu mendorong peningkatan perdagangan dan pelaburan di kota masing-masing di samping memberikan kepastian dan perluasan pasaran produk yang dihasilkan.

Sunday, November 17, 2013

kerajaan mataram kuno

Hurup Palawa KawiSailendra ialah nama suatu dinasti yang pernah menyebarkan pengaruhnya ke hampir seluruh pelosok Nusantara, semenanjung Malaya (Singapura dan Malaysia sekarang), Thailand, Indochina (antara lain Vietnam, Laos, Burma, dan Kamboja), Filipina, dan hingga India. Nama Sailendra dijumpai antara lain di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Sailendragurubhis; Sailendrawansatilakasya; Sailendrarajagurubhis). Kemudian ditemukan juga di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Sailendrawansatilakena), di dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (Dharmmatungadewasyasailendra), Prasasti Sojomerto (Batang, Jawa Tengah) dari tahun 725 Masehi (Selendranamah) dan Prasasti Kayumwunan (Temanggung, Jawa Tengah) dari tahun 824 Masehi (Sailendrawansatilaka). Semua prasasti tersebut ditemukan di Indonesia. Nama dinasti ini ditemukan juga dalam Prasasti Ligor di Thailand dari tahun 775 Masehi dan juga dijumpai pada Prasasti Nalanda di India.
“Pujian bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut (sebagai dewa) Wisnu, kedua mematahkan keangkuhan semua musuhnya (Sarwarimadawimthana). Ia adalah keturunan dari (keluarga Sailendra) yang tersohor disebut Srimaharaja.” (Prasasti Ligor B, Chaiya, Thailand).
Di dalam Prasasti Nalanda di India terukir nama Sailendrawansatilaka (permata dinasti Sailendra) dan Balaputradeva raja Jawa. Penemuan nama dinasti ini di India telah benar-benar mengundang keingintahuan banyak peneliti Barat, terutama para ahli sejarah untuk mengetahui siapakah dinasti tersebut yang mampu memahatkan nama besarnya di India.
Asal-usul Sailendra
Berbagai pendapat diajukan oleh para ahli sejarah dan arkeolog dari berbagai negara. Sebagian ahli sejarah seperti Majumdar, Moens, dan Nilakanta Sastri menyatakan Sailendra berasal dari India. Sedangkan Coedes mengajukan dugaan Sailendra berasal dari Funan. Ahli sejarah lain seperti Poerbatjaraka menegaskan Sailendra berasal dari Nusantara, yaitu dari Kepulauan Melayu (Sumatra).
Majumdar mengandaikan Sailendra, baik di Sriwijaya (Sumatera) atau Medang (Jawa) berasal dari Kalinga (India Selatan). Nilakanta Sastri dan Moens mempunyai pendapat yang sama. Moens menganggap bahawa keluarga ini berasal dari India dan tinggal di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 682 Masehi, keluarga ini berangkat ke Jawa karena tekanan Dapunta Hyang dan tentaranya. Pada masa itu pusat Sriwijaya berada di Semenanjung Melaya.
Coedes menganggap Sailendra berasal dari Funan (Kamboja). Jatuhnya Kerajaan Funan akibat kerusuhan telah mendorong keluarga ini ke Jawa. Lalu mereka menjadi penguasa di Medang (Mataram) dan pada pertengahan abad ke-8 menggunakan Sailendra sebagai nama keluarga.
Slamet Muljana berpendapat sama dengan Poerbatjaraka berdasarkan gelar ‘Dapunta’ yang ditemui dalam Prasasti Sojomerto. Gelar ini juga ditemui pada Prasasti Kedukan Bukit (Dapunta Hiyang) dan Prasasti Talang Tuwo. Ketiga inskripsi/prasasti itu ditulis dalam Bahasa Melayu Kuno yang ketika itu dipakai oleh masyarakat di Pulau Sumatra. Di sanalah pusat kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan berdiri pada akhir 600-an Masehi.
Pendapat tentang Sailendra berasal dari Nusantara dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut beliau, Sanjaya dan keturunannya adalah raja dari keluarga Sailendra. Asal-usul dari Kepulauan Melayu dan beragama Hindu-Siva.Tapi kemudian Panamkaran (salah seorang kerabat Sailendra) menjadi pengikut Buddha Mahayana. Pendapat ini didasarkan pada Carita Parahyangan yang menyebutkan, Rakai Sanjaya memerintahkan anaknya, Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama ini dihormati oleh semua orang.
Pendapat Poerbatjaraka berdasarkan Carita-Parahyangan, kemudian dikuatkan oleh inskripsi yang ditemui di wilayah Kabupaten Batang. Dalam inskripsi yang dikenali sebagai Prasasti Sojomerto, nama Dapunta Sailendra disebutkan juga nama ayahnya Santanu dan ibunya bernama Sampula (dapunta selendra namah santanu nama nda bapa nda bhadrawati nama aya nda sampula nama nda). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah moyang dan pengasas kepada semua raja-raja dari keturunan raja Sailendra di Medang.
Siapakah Sailendra
Prasasti Sojomerto ditulis dalam Bahasa Melayu Kuno. Nama ‘Dapunta Selendra’ adalah jelas ejaan Melayu dari kata Sansekerta ‘Sailendra’. Jika keluarga Sailendra berasal dari India Selatan, sudah tentu mereka akan menggunakan bahasa Tamil atau setidak-tidaknya bahasa Sansekerta pada prasasti mereka. Berdasarkan gaya paleografiknya, Prasasti Sojomerto ditulis pada pertengahan abad ke-7 Masehi.
Isi teks prasasti Sojomerto
“… – ryayon çrî sata …
… _ a kotî
… namah ççîvaya
bhatâra parameçva
ra sarvva daiva ku samvah hiya
– mih inan –is-anda dapu
nta selendra namah santanû
namânda bâpanda bhadravati
namanda ayanda sampûla
namanda vininda selendra namah
mamâgappâsar lempewângih”
Terjemahan teks yang terbaca:
“Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa
… dari yang mulia Dapunta Selendra
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.”
Prasasti Sojomerto telah menggugurkan semua teori Majumdar, Nilakanta Sastri, Moens, Coedes, dan lain-lain. Prasasti ini memang kuat diyakini menetapkan asal-usul dinasti ini karena menerangkan siapakah Dapunta Sailendra dan ibu bapaknya dalam bahasa Dapunta Sailendra sendiri, yaitu bahasa Melayu.
Kata kuncinya terletak pada gelar Dapunta, yakni gelar khas raja-raja di Melayu dari keturunan Sriwijayamala.
Dalam Prasasti Kedukan Bukit, tersurat nama ‘Dapunta Hyang Srijayanasa’ sebagai pendiri sekaligus raja pertama di Sriwijaya. Dapunta ialah gelar untuk Sailendra dan tidak dipergunakan oleh raja-raja lain di Sriwijaya. Penguasa di Medang (Mataram) mengaku keturunan Dapunta Sailendra. Berikutnya untuk di Jawa dikenal gelar Rakai yaitu gelar bagi raja-raja Jawa. Rakai pada mulanya ialah penguasa Jawa di bawah hemegemoni Sriwijaya sebaga Datu. Dapunta Sailendra yang dimaksud oleh Prasasti Sojomerto itu adalah Dapunta Hyang Srijayanasa sebagaimana tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuwo. Sailendra adalah nama asli dan setelah bertahta sebagai raja ia bergelar Dapunta Hyan Srijayanasa.
Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Dinasti Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, tapi berdasarkan analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi.
Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian sudah rusak terkikis usia.
Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais (Boechari, 1966). Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Dinasti Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Secara retrospektif, isi teks Prasasti Sojomerto menjadi interkontekstual dengan baris-baris akhir teks Prasasti Kota Kapur, yang berbunyi, “…chakravarsatita 608 din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. Tatkalana yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.” (…Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah sumpah ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat menyerang bumi jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya).
Setelah Jawa (hingga Jawa Tengah dan tidak termasuk Jawa Timur) berhasil ditaklukkan, raja Sriwijaya (Dapunta Sailendra) menempatkan anggota keluarganya (keturunannya) sebagai penguasa/datu di Kerajaan Mataram/Medang. Sebagian lagi terjadi penyatuan keluarga melalui pernikahan. Dapunta Hyang Srijayanasa (Sailendra) sendiri menikah dengan salah seorang puteri dari Raja Linggawarman (raja ke-12 Tarumanagara), yang bernama Sobakancana.
Di kemudian hari sangat beralasan bila penguasa/datu di Mataram mengaku sebagai keturunan Dapunta Sailendra. Selain Prasasti Sojomerto, di Jawa ditemukan juga beberapa prasasti lain yang juga berbahasa Melayu kuno, antara lain:
Prasasti Manjucrighra, Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, 2 November 792 M;
Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah, 824 M (dwibahasa, Melayu kuno dan Jawa Kuno);
Prasasti Gandasuli I dan II, Candi Gondosuli, Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, 832 M;
Prasasti Bukateja, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah; dan Prasasti Dewa Drabya, Dieng, Jawa Tengah;
Dinasti Sailendra diyakini telah menumbuhkan Kerajaan Medang di Jawa. Menurut Poerbatjaraka, dinasti ini adalah perintis dari dinasti-dinasti lain dalam Kerajaan Medang. Tentu saja pakar sejarah dan sastra Jawa ini punya alasan kuat sehingga berpandangan demikian?
Terdapat tiga dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yakni Dinasti Sanjaya, Dinasti Sailendra, dan Dinasti Isyana. Sanjaya dan Sailendra berkuasa ketika kerajaan Medang berpusat di Jawa Tengah, sedangkan Isyana ketika pusat kerajaannya berpindah ke Jawa Timur. Teori awal mengatakan Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama berkuasa di dalam kerajaan Medang (antara lain dikemukan oleh Dr. Bosch). Beliau menyatakan, di dalam Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu Sanjaya dan Sailendra. Istilah dinasti Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732 Masehi. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siva.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa (raja ketiga Kerajaan Galuh). Sena adalah putera Mandiminyak (raja kedua Kerajaan Galuh; 702-709 Masehi). Dikemudian hari Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa (raja Sunda). Penyerangan ini bertujuan untuk menyingkirkan Purbasora.
Ketika Tarusbawa meninggal dunia pada tahun 723 Masehi, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732 Masehi, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rakai Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan sekitar 22 tahun (732-754 Masehi), yang kemudian digantikan oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran dikalahkan oleh penguasa Sriwijaya keturunan Dapunta Sailendra. Pada tahun 778 Masehi raja Sailendra, yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintahkan Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan.
Sejak itu Kerajaan Medang dikuasai oleh keturunan dinasti Sailendra. Seorang puteri keturunan Dinasti Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Selanjutnya, Dinasti Sanjaya kembali berkuasa di Medang.
Poerbatjaraka menolak teori di atas. Menurut beliau Dinasti Sanjaya tidak pernah ada. Sanjaya sendiri adalah anggota keluarga Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena istilah Sailendra bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Siva.
Istilah ‘Sanjayawamsa’ tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah ‘Sailendrawamsa’ ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya Prasasti Ligor, Prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara. Jika Dinasti Sanjaya amat berkuasa sehingga dikatakan membina candi Prambanan sudah tentu mereka mampu memahat nama keluarga pada batu bersurat. Kenyataannya tidak ada nama keluarga Sanjaya terpahat pada prasasti (batu bertulis). Ini bermakna keluarga Sanjaya masih bernaung di bawah nama keluarga Sailendra.
Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yakni Dinasti Sailendra yang beragama Hindu Siva. Sejak pemerintahan Rakai Panangkaran, dinasti Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan keluarga keturunan Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan Rakai Pikatan. Rakai Pikatan inilah yang dijadikan hujah/alasan keberadaan dinasti Sanjaya.
Satu lagi dinasti yang dikatakan memerintah Medang ialah Isyana. Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947 Masehi). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siva.
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diyakini merupakan keturunan Sanjaya (pendiri Kerajaan Medang era Jawa Tengah). Salah satu pendapat menyebutkan, Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Dinasti Sanjaya.
Namun Poerbatjaraka, Pusponegoro, dan Notosutanto menolak teori tentang keberadaan Dinasti Isyana. Menurut mereka, dalam Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Dinasti Sailendra, yang sebagian beragama Hindu dan sebagian lagi Budha. Dengan kata lain, menurut teori ini Mpu Sindok adalah anggota Dinasti/Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siva dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa Timur. Ketiga ahli sejarah itu berkesimpulan, hanya Dinasti Sailendra saja yang sebenarnya memerintah Kerajaan Medang.
Beberapa puluh tahun kemudian, Erwan Suryanegara bin Asnawi Jayanegara mengajukan asumsi yang lebih mengakar ke belakang, yaitu ke masa prasejarah. Dapunta Hyan Srijayanasa atau Sailendra, menurut Erwan Suryanegara berasal dari keturunan masyarakat Tradisi Megalitik Dataran Tinggi Pasemah (Bukit Barisan bagian selatan) di Sumatra. Masyarakat di daerah tersebut sudah mampu menghasilkan karya-karya kebudayaan yang pada masanya sudah tergolong tinggi/maju. Berdasarkan hasil penelitian Erwan, dari perbandingan usianya (yang menurut Van Heekeren berasal dari 500 tahun sebelum Masehi), artefak-artefak peninggalan Tradisi Megalitik Dataran Tinggi Pasemah terbukti tidak ada duanya di Nusantara, bahkan di Asia.
Sejarah bangsa-bangsa di dunia membuktikan, tegas Erwan, “Masyarakat berkebudayaan tinggi selalu lahir dari masyarakat yang pada masa lampaunya juga berkebudayaan tinggi.”